Perdebatan terakhir di Dewan Perwakilan Rakyat berkaitan dengan metode konversi suara menjadi kursi. Sebagian fraksi menginginkan perubahan dari sistem kuota yang mirip aturan di Undang-undang Pemilu No 10/ 2008 menjadi sistem Webster yang banyak dipakai di dunia.
Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-undang Pemilu, Ganjar Pranowo, menjelaskan, inti perdebatan kedua metode itu sebenarnya pada cara menghabiskan sisa suara yang belum terkonversi saja. "Sistem Webster itu menghendaki, suara dibagi habis di daerah pemilihan," kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis 12 April 2012.
Sementara sebagian DPR lainnya menghendaki, sisa suara itu diatur tetap seperti dalam UU Pemilu yang hendak diganti. Sisa suara yang belum terkonversi di daerah pemilihan karena tak memenuhi kuota kemudian dibawa ke tingkat provinsi. Namun jika daerah pemilihan setara provinsi, langsung dibagi habis berdasarkan pemilik sisa suara terbanyak.
Usai rapat paripurna dinihari tadi, para anggota DPR masih bersitegang soal metode ini. Metode Webster yang menurut Prof. Dr. Victoriano Ramírez-González, guru besar Universitas Granada, Spanyol, paling imparsial atau tak berpihak pada partai mana pun ini, diusung oleh PDIP, Golkar dan PKS.
Namun, Ganjar menjelaskan, sistem kuota pun belum memiliki kesepahaman. "Mereka bilang murni. Tapi murni yang seperti apa, mereka belum sama intrepretasinya," kata Ganjar.
"Masing-masing pada posisinya," kata Wakil Ketua DPR, Pramono Anung. Dan pagi ini, soal metode konversi suara ini akan dibawa kembali ke paripurna DPR.
Sementara itu, sejumlah poin krusial sudah ditemukan titik komprominya. Pemilu disepakati anut sistem terbuka atau berdasarkan suara terbanyak, ambang parlemen 3,5 persen dan alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10 kursi.
• VIVAnews