Beda TAP MPR yang Dicabut soal Sukarno, Soeharto dan Gus Dur
30 September 2024, 15:12:12 Dilihat: 235x
Jakarta,Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI melakukan sejumlah kebijakan mencabut nama-nama presiden terdahulu dari yang tertuang dalam ketetapan atau TAP MPR.
Mereka adalah Presiden RI Sukarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Nama-nama para presiden terdahulu itu dicabut terkait dengan status sebagaimana yang tertuang pada TAM MPR masing-masing.
Sukarno
Pertama, MPR secara resmi mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno.
Salah satu poin pertimbangan dalam TAP MPRS tersebut berbunyi 'Presiden Sukarno disebut melindungi tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI)'. Dengan pencabutan TAP dimaksud, Sukarno tak lagi terbukti melindungi tokoh-tokoh PKI.
Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menjelaskan pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 berdasarkan Rapat Pimpinan MPR pada 23 Agustus 2024 yang dihadiri seluruh fraksi partai.
"TAP MPRS Nomor XXXIII Tahun 1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi," kata Bamsoet.
"Secara yuridis tuduhan tersebut tidak pernah dibuktikan di hadapan hukum dan keadilan, serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum," sambungnya.
Bamsoet menjelaskan tidak berlakunya lagi TAP MPRS XXXIII/1967 sesuai dasar hukum yang berlaku dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003.
MPR, terang dia, telah melakukan peninjauan dan menjawab surat resmi dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengenai pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967. Pimpinan MPR sepakat mencabut TAP MPRS tersebut.
Soeharto
Selain itu, MPR turut mencabut nama Presiden ke-2 RI Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Isi TAP MPR 11/1998 yang telah resmi dicabutitu terdapat dalam Pasal 4, yang mengamanatkan pemberantasan KKN bagi pejabat negara dan secara eksplisit menuliskan nama Soeharto.
Keputusan MPR mencabut nama Soeharto disampaikan Bamsoet selaku Ketua MPR dalam Sidang Akhir Masa Jabatan MPR Periode 2019-2024, Rabu (25/9).
"Terkait dengan penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor 11/MPR 1998 tersebut secara diri pribadi, Bapak Soeharto dinyatakan telah selesai dilaksanakan karena yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Bamsoet.
Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 merupakan tindak lanjut dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024 dan diputuskan dalam rapat gabungan MPR pada 23 September lalu.
Menurut Bamsoet, TAP MPR 11/1998 secara yuridis masih berlaku. Hanya saja, proses hukum terhadap Soeharto sesuai Pasal itu telah selesai karena yang bersangkutan telah meninggal dunia.
"MPR sepakat untuk menjawab surat tersebut sesuai dengan etika dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di mana status hukum TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tersebut dinyatakan masih berlaku oleh TAP MPR nomor 1/R 2003," katanya.
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 setelah rezim Orde Baru yang ia pimpin selama 32 tahun habis-habisan didemo mahasiswa saat krisis moneter pada tahun tersebut. Setelah Orde Baru runtuh, MPR pun mengeluarkan TAP MPR yang menegaskan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.
Kemudian pada Maret 2000, Kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi lewat tujuh yayasan. Lalu pada Agustus dia dilimpahkan ke persidangan, tetapi upaya menghadirkan penguasa Orde Baru itu ke meja hijau selalu gagal.
Akhirnya pada 2006, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan pemerintah tidak akan melanjutkan perkara mantan Presiden Soeharto di pengadilan, yang selama ini terhenti karena alasan kesehatan.
Pada 11 Mei 2006, Kejaksaan pun menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
Gus Dur
Selanjutnya, satu TAP lagi dicabut yaitu mengenai pemberhentian Presiden ke-4 Gus Dur pada 2001. TAP MPR Nomor II Tahun 2001 yang menyatakan ketidakhadiran dan penolakan Gus Dur untuk memberikan laporan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR kala itu dinilai telah melanggar haluan negara, tidak berlaku lagi.
Bamsoet mengatakan keputusan tak berlakunya lagi TAP MPR II/2001 didukung oleh seluruh fraksi partai politik di MPR. Menurut dia, Gus Dur merupakan sosok pemimpin bangsa yang inspiratif, visioner, dan humoris.
"Sebagai tokoh bangsa, Gus Dur menjadikan humor sebagai kritik yang menohok. Akan terasa pahit dan getir bagi yang disasar, tapi relevan bagi masyarakat yang terwakili aspirasinya," kata Bamsoet.
Dengan adanya surat penegasan tak berlakunya lagi TAP MPR tentang Gus Dur, dia pun berharap MPR bisa mendorong pemerintah agar Presiden yang dijuluki Bapak Pluralisme itu bisa mendapat penghargaan.
Sementara itu, pihak keluarga berharap nama dan martabat Gus Dur dipulihkan hingga ke kurikulum mata pelajaran di sekolah setelah ada ketetapan tersebut.
Istri Gus Dur, Sinta Nuriyah, mengatakan TAP MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi keluarga Gus Dur karena sosok yang dijuluki Bapak Pluralisme itu seolah-olah ditempatkan sebagai seorang pelanggar konstitusi.
"Segala bentuk publikasi, baik buku pelajaran maupun buku-buku yang menyangkut penurunan Gus Dur dengan TAP MPR mesti ditarik untuk direvisi," kata Sinta saat bertemu dengan MPR RI di kompleks parlemen, Jakarta, Minggu (29/9)
Sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240930102406-617-1149832/beda-tap-mpr-yang-dicabut-soal-sukarno-soeharto-dan-gus-dur