Senin, 07 Januari 2013 10:13 wib
Foto : Aung San Suu Kyi (Zimbio)
YANGON – Pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi menolak untuk menengahi konflik yang terjadi antara pemberontak Kachin dengan Pemerintah Myanmar. Suu Kyi beralasan ia hanya dapat ikut serta dalam penyelesaian konflik apabila mendapat izin dari pemerintah.
Pemerintah Myanmar terlibat dalam konflik dengan pemberontak Kachin sejak Juni 2011 lalu. Pada masa pemerintahan Presiden Thein Sein, Myanmar berhasil membuat kesepakatan gencatan senjata dengan hampir semua kelompok pemberontak yang ada di Myanmar kecuali dengan pemberontak etnis Kachin.
Pekan lalu, pertempuran atara kedua pihak kembali memanas setelah pemerintah Myanmar melakukan serangan udara ke wilayah yang dikuasai oleh pemberontak Kachin. Suu Kyi akhirnya berkomentar mengenai konflik itu, namun Peraih Nobel Perdamaian tersebut menolak untuk ikut campur.
“Terserah pada pihak pemerintah mau mengajak saya atau tidak, saat ini masalah Kachin merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujar Suu Kyi, seperti dikutip AFP, Senin (7/1/2013).
Sebelumnya Yup Zaw Hkaung yang ditunjuk sebagai juru damai antara pemerintah dengan pemberontak Kachin meminta Suu Kyi untuk turun tangan menyelesaikan konflik etnis itu. Ia mengatakan, sebagai pemimpin oposisi, Suu Kyi memiliki tanggung jawab moral untuk ikut membantu menangani konflik tersebut.
Konflik di Kachin terjadi di tengah-tengah berjalannya proses reformasi di Myanmar. Pemerintahan Junta Militer yang sealama berpuluh-puluh tahun menguasai Myanmar kini diganti dengan pemerintahan reformis yang dipimpin oleh Thein Sein.
Sebelumnya Thein Sein meminta pihak militer untuk meredakan ketegangan dan menggunakan cara-cara damai untuk menyelesaikan konflik. Namun penggunaan serangan udara oleh pihak militer membuat banyak pihak bertanya-tanya akan pengaruh yang dimiliki Thein Sein di dalam militer Myanmar.
Myanmar adalah negara yang multi etnis dengan etnis Bamar sebagai etnis mayoritas. Sejak berdiri pada 65 tahun yang lalu, Myanmar seringkali dilanda pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok minoritas di negara tersebut, baik yang ingin memisahkan diri maupun meminta diberikan otonomi yang lebih besar.
(AUL)